Biochar adalah arang yang dihasilkan ketika biomassa (lebih diutamakan
sampah organik) dipanaskan tanpa atau dengan oksigen yang minimal. Proses ini
sering disebut pyrolysis. Berbeda dengan material organik, biochar stabil dari
ratusan hingga ribuan tahun jika bercampur dengan tanah, dan karbon yang stabil
tersebut tidak terlibat pada proses siklus karbon. Biochar kaya akan komponen
alkali (Ca, Mg, K) yang berkontribusi terhadap proses menetralkan keasaman
tanah dan mampu mengurangi aktifitas zat yang merupakan racun bagi tanaman
seperti alumunium dalam tanah[1].
Biochar berupa karbon yang tidak berubah yang sebagian
besar akan tetap tidak berubah di tanah dalam periode waktu yang sangat lama.
Petani dapat menyimpan karbon di dalam cara yang sederhana, tahan lama, dan
aman dengan cara menaruh char tersebut di tanah. Sedangkan karbon tipe lain di
dalam tanah akan cepat berubah menjadi karbon dioksida[2].
Sumber bahan organik lokal yang dapat digunakan
antara lain sampah-sampah organik yang terbuang seperti kulit kakao, batok
kelapa, sekam padi, serbuk gergaji, ranting-ranting pohon, dsb. Sampah-sampah
organik ini dapat dibakar sehingga menghasilkan karbondioksida; mengalami
degradasi atau pembusukan dengan kondisi aerob dengan Oksigen atau dengan
kondisi anaerob tanpa Oksigen.
Penggunaan arang (biochar) dalam pertanian mulai
dilirik sebagai salah satu praktek yang dapat membantu mempertahankan kesuburan
tanah, seiring dengan isu pemanasan global akibat meningkatnya emisi
karbondioksida (CO2) dan gas rumah kaca lain yang dapat membahayakan
kelangsungan hidup manusia. Penambatan karbon dalam tanah diidentifikasi
sebagai salah satu pilihan untuk mengurangi emisi karbondioksida. Dalam situasi
yang bersamaan, penambatan karbon dalam tanah, ternyata dapat juga memperbaiki
lahan-lahan pertanian yang kritis/miskin unsur hara yang diperlukan oleh
tanaman.
Praktek penggunaan biochar sebenarnya bukan hal
baru di Indonesia. Meskipun arang yang digunakan tidak sama dengan biochar,
petani telah lama menggunakan arang kayu untuk membakar ladang mereka. Di Timor
Barat - NTT, kegiatan ini dikenal dengan istilah Koek Ai (geser atau sorong
api), yaitu membakar tumpukan kayu di atas satu bidang tanah. Setelah tanah
berwarna hitam, maka petani akan menggeser kayu yang sedang menyala dan membara
tersebut ke lokasi berikutnya.
Beberapa praktek penggunaan biochar di Indonesia
yang dilakukan oleh UNPD Indonesia, bekerja sama dengan petani, lembaga dan
pendamping petani membawa angin segar bagi petani. Dengan menggunakan biochar,
masyarakat Ngata Toro (Desa Toro) di kawasan Taman Nasional Lore Lindu,
Sulawesi Selatan berhasil meningkatkan hasil produksi jagung mereka
dibandingkan dengan hasil sebelumnya[3].
Biochar juga dapat digunakan sebagai energi
alternatif untuk memasak sebagai pengganti kayu bakar atau minyak tanah. Tungku
bersih yang menggunakan briket, lebih hemat dalam menggunakan kayu bakar dan
lebih bersih dibandingkan dengan tungku batu.
UNDP bekerja sama dengan kelompok petani lokal,
dampingan PT. Batutua Tembaga Raya (BTR) di Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat
Daya, Maluku untuk mengaplikasikan penggunaan biochar, baik dalam
praktek-praktek pertanian maupun penggunaan tungku briket. Lokasi/desa yang
dipilih adalah desa-desa yang masih menjadi lokasi kegiatan Community Development PT. BTR karena
alasan teknis, yaitu sulitnya transportasi dari desa ke desa dan hanya
mengandalkan transportasi laut. Desa-desa ini juga telah diidentifikasi, punya
potensi untuk dijadikan sebagai lokasi aplikasi program, baik dari aspek bahan baku
pembuatan briket (kayu tunggul, sekam padi, serbuk kayu, sekam padi, kulit
pala, batok kelapa). Di samping itu, desa-desa ini juga sudah ada kelompok tani
binaan budidaya tanaman sayuran, tanaman umur panjang, sawah dan peternakan
ayam. Dengan demikian, kedua program ini dapat berjalan secara bersamaan, baik
sebagai pembanding dalam mendapatkan hasil produksi pertanian maupun sebagai
program baru yang dapat memberikan sumbangan kepada petani dan pemerintah
daerah dalam bidang pertanian dan pengembangan energi alternatif.
Sebanyak enam desa yang telah di-asses untuk
pengembangan program biochar semuanya berada di Kecamatan Wetar Utara, Kab.
Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Keenam desa tersebut adalah: 1) Desa Uhak; 2) Desa Lurang; 3) Desa Naumatang; 4) Desa Esulit; 5) Desa Nabar; dan 6) Desa Erai.
Laporan ini bertujuan untuk menginformasikan identifikasi potensi yang ada
di lapangan sebagai bahan kajian untuk implementasi program lebih lanjut,
khususnya dengan UNDP yang memiliki program pengenalan penggunaan energi
alternatif yang murah, yaitu arangbagi pertanian ddan briket arang sebagai
bahan bakar tungku bersih dalam kegiatan masak-memasak di rumah tangga.
Pulau Wetar, adalah salah satu
pulau terdepan dalam gugusan kepulauan Indonesia yang berbatasan langsung
dengan negara Timor Leste. Wetar terletak di laut Banda, sebelah utara Timor
Leste dengan koordinat 7° 56′ 50″ LS, 126° 28′ 10″ BT.
Pulau Wetar termasuk dalam
wilayah Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Saat ini, Pulau Wetar
terbagi atas 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Wetar dengan ibukota Ilwaki,
merupakan kecamatan induk, sedangkan 3 kecamatan pemekaran adalah Wetar Utara
dengan ibukota Lurang, Wetar Barat ibukota Ustutun dan Wetar Timur ibukota
Arwala.
Pulau Wetar, dapat diakses
dari tiga arah, yaitu arah barat diakses dari Kota Kupang melalui transportasi
laut atau dari Kota Kupang ke Kisar melalui jalur udara, dilanjutkan dengan
jalur laut dari Kisar ke Pulau Wetar. Dari arah utara dapat diakses dari Kota
Ambon ke Kisar dengan transportasi udara dan ke Pulau Wetar dengan transportasi
laut. Dari arah timur diakses melalui pulau-pulau kecil yang ada di Provinsi
Maluku (termasuk Pulau Kisar). Transportasi udara yang tersedia, yaitu
penerbangan reguler PT Merpati Nusantara Airlines (MNA), tipe pesawat CN 250
dari Kota Ambon ke Pulau Kisar dan CN 212 dari Kota Kupang (Provinsi NTT) ke
Pulau Kisar. Transportasi udara dari Kota Ambon berlangsung 2 (dua) kali
seminggu, penerbangan perintis dari Kota Kupang berlangsung 1 (satu) kali
seminggu. Ada juga transportasi laut milik PT Batutua Tembaga Raya – Batutua
Kharisma Permai yang berlayar dari Wetar (Lurang) ke Atapupu (Belu-NTT) 2 kali seminggu, khusus untuk mengangkut karyawan perusahaan dan
masyarakat lokal setempat.
Topografi Pulau Wetar umumnya
berbukit dan terjal sehingga akses jalan darat antar desa masih sulit.
Pemukiman juga hanya berada di pantai Pulau Wetar. Akses jalan hanya ada di
Ilwaki dan Ustutun. Karena itu, hubungan antardesa di Wetar dilakukan hanya
dengan mengandalkan perahu motor (jolor) masyarakat yang ada.
Tumbuhan mangrove yang dapat
ditemui di pesisir Pulau Wetar sebanyak 15 spesies yang tergolong dalam 15
generasi dan 12 famili. Kelimpahan spesies mangrove di pulau ini ditunjukkan
dengan kesamaan spesies tumbuhan mangrove yang ada di Nusa Tenggara dan Negara Timor Leste, yaitu mencapai 67%. Sementara kesamaan spesies antara pesisir
Pulau Wetar dengan Pulau Yamdena sebesar 80%. Spesies mangrove yang menyebar di
wilayah ekologis pesisir Pulau Wetar yaitu Sonneratia
alba, Baringtonia asiatica, Hibiscus tiliaceus, Nypa fructicans dan Acanthus licifolius.
Sumberdaya alam lain adalah
pala hutan (Myristica fatua), asam (Tamarindus indica) dan kenari (Canarium commune). Pohon ampupu (Eucalyptus alba) dan kosambi (Schleichera
oleosa) juga tumbuh dalam areal yang
cukup luas dan memberikan kontribusi nekhtar bagi lebah hutan. Madu hutan di
Wetar sangat digemari karena berkualitas tinggi. Panen madu hutan dilakukan
oleh masyarakat setempat sebanyak dua kali, yaitu pada masa berbunganya pohon
ampupu (Mei-Juni) dan bulan Oktober-November pada saat pohon kosambi mulai
berbunga.
Permasalahan
pertanian di Pulau Wetar adalah sebagai berikut[4]:
- Rendahnya jumlah dan kualitas sumber daya
manusia.
- Kondisi geografis yang memiliki rentang
kendali yang panjang.
- Pola pertanian yang tradisional.
- Kondisi iklim yang panas.
- Penanganan pasca panen belum dilakukan
secara baik.
- Ketersediaan infrastruktur penunjang.
- Sarana dan prasarana produksi yang tidak
terdapat di tingkat petani.
- Berisiko kekurangan bahan pangan di tingkat
keluarga.
- Belum ada dan berfungsinya lembaga penyuluhan
dan terbatasnya tenaga penyuluh.
- Keterbatasan sumber pendanaan.
Kecamatan Wetar Utara
merupakan kecamatan baru, hasil pemekaran dari kecamatan induk Wetar.
Diresmikan oleh Bupati Maluku Barat Daya, Barnabas Orno pada tanggal 17 April
2013 di Lurang. Kecamatan yang
beribukota di Lurang ini, terdiri atas 6 desa, yaitu Desa Uhak, Lurang,
Naumatang, Esulit, Nabar dan Desa Erai. Jumlah penduduk Kecamatan Wetar Utara
menurut desa dapat dilihat pada tabel berikut:
No
|
Desa
|
Jumlah KK
|
Jumlah Jiwa
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Total
|
1
|
Uhak
|
92
|
230
|
218
|
448
|
2
|
Lurang
|
102
|
245
|
235
|
480
|
3
|
Naumatang
|
40
|
100
|
115
|
225
|
4
|
Esulit
|
46
|
50
|
46
|
96
|
5
|
Nabar
|
42
|
42
|
40
|
82
|
6
|
Erai
|
68
|
321
|
280
|
601
|
|
Jumlah
|
390
|
988
|
934
|
1.932
|
Sumber: monografi desa (2013)
Kalender musim kegiatan dan peristiwa di
Kecamatan Wetar Utara hampir sama. Bulan
basah dimulai dari Desember sampai Juni. Pada saat bulan basah, gelombang di
Laut Banda sangat tinggi sehingga menyulitkan lalu lintas, khususnya pengguna
perahu motor. Kondisi ini menyebabkan pasokan makanan ikut berkurang sehingga
harga barang pun menjadi tinggi pada bulan-bulan tersebut. Musim kemarau
merupakan musim panen untuk beberapa komoditas umur panjang seperti jeruk, pala
hutan, jambu mente, madu hutan, lola dan batu laga. Kegiatan dan peristiwa yang
terjadi di Kecamatan Wetar Utara dapat dilihat pada tabel berikut:
Uraian
|
Bulan ke
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
12
|
Bulan basah
|
**
|
**
|
**
|
*
|
*
|
*
|
|
|
|
|
|
*
|
Bulan kering
|
|
|
|
|
|
|
*
|
*
|
**
|
**
|
*
|
|
Tanam jagung, ubi, kacang-kacangan
|
*
|
*
|
*
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*
|
Panen jambu mete
|
|
|
|
|
|
|
|
*
|
*
|
*
|
*
|
|
Panen pala hutan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*
|
*
|
|
|
Panen jeruk
|
|
|
|
|
|
*
|
**
|
**
|
*
|
*
|
|
|
Panen madu hutan
|
|
|
|
|
*
|
*
|
|
|
|
|
*
|
*
|
Panen lola
dan batulaga
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*
|
*
|
|
|
Panen sayuran dan buah semusim
|
*
|
*
|
*
|
*
|
**
|
**
|
*
|
*
|
*
|
*
|
*
|
*
|
Kekurangan bahan makanan
|
*
|
*
|
*
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Musim berburu babi hutan
|
|
|
|
|
|
*
|
*
|
*
|
*
|
*
|
|
|
Musim kebakaran
|
|
|
|
|
|
|
*
|
*
|
*
|
*
|
|
|
Keterangan: ** = tinggi/banyak
IDENTIFIKASI POTENSI-POTENSI DESA TARGET
Uhak terletak di utara Pulau Wetar, menghadap ke Laut Banda. Jumlah
penduduk Uhak pada tahun 2013 adalah 448 jiwa (92 KK). Mayoritas penduduknya
beragama Kristen Protestan. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani-nelayan.
Pekerjaan lain yang ditekuni adalah sebagai karyawan perusahaan BTR-BKP, guru
SD dan usaha kios. Desa Uhak dihuni oleh penduduk asli suku Mawetars, Makesso
dan Masnary. Sebagian lagi datang dari Siera, Alor dan Sulawesi Selatan pada
tahun 1990-an.
Tanah di Uhak sebagian besar dikuasai oleh suku Mawetars, Makesso dan
Masnary sebagai tanah ulayat dan tidak bersertifikat. Meskipun demikian,
penduduk dari suku lain yang rata-rata pendatang dapat mengelola tanah ulayat
dengan bebas, tanpa ada pungutan.
Pada awalnya penduduk Desa Uhak hidup dari berburu binatang liar,
mengumpulkan pala hutan, madu dan juga hasil laut seperti ikan, lola, teteruga
(penyu) dan batulaga. Sistem bertanam padi sawah dan sayur-sayuran semusim baru
dikenal setelah perusahaan BTR-BKP intensif melakukan pendampingan melalui
program pengembangan masyarakat.
Bentuk permukaan tanah di Uhak tidak rata. Hanya areal pantai yang
rata dan tidak luas. Lokasi ini menjadi areal pemukiman sekaligus sebagai
tempat melakukan kegiatan pertanian dan peternakan. Kegiatan pertanian intensif
yang dilakukan adalah bertanam sayuran dan buah semusim. Sebanyak 5 KK juga
melakukan kegiatan bertanam padi sawah dalam luas lahan yang kurang dari 1
hektar.
Lahan pertanian yang diusahakan memiliki struktur lempung berpasir. Pada
musim kemarau, permukaan tanah menjadi panas dan air mudah menguap sehingga
petani harus menyiram tanamannya dua kali, pagi dan sore hari. Alat-alat
pertanian yang digunakan masih sederhana, berupa cangkul, linggis dan parang.
Sedangkan pengolahan padi sawah dilakukan dengan menggunakan traktor.
Bulan-bulan basah di Desa Uhak berkisar antara
Desember hingga Juni. Curah hujan paling tinggi berkisar antara Januari hingga
Maret. Secara umum, petani menanam jagung, kasbih (ubi kayu) dan tanaman pangan
lainnya pada bulan Desember hingga Maret, sedangkan tanaman sayuran ditanam
sepanjang musim karena ketersediaan air sepanjang musim. Transportasi sulit
pada bulan-bulan basah karena gelombang laut sangat tinggi, sehingga masyarakat
cukup kesulitan mendapatkan barang-barang kebutuhan hidup.
Bulan-bulan kering berkisar dari Juli hingga November. Pada musim kemarau
ini, petani giat mencari hasil-hasil hutan seperti madu dan pala hutan. Dua
kegiatan ini biasanya dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat
desa setelah ada pengumuman resmi dari Kepala Desa.
Sumber energi untuk aktivitas memasak di dapur adalah kayu bakar (95%) dan
minyak tanah (5%). Kayu bakar diperoleh dari alam sekitar. Masyarakat tidak
menebang pohon untuk mengambil kayunya, tetapi memanfaatkan kayu-kayu kering
yang ada di hutan atau pantai. Jenis tungku memasak yang umumnya dipakai adalah
tungku batu alam atau batako.
Tidak ada lembaga keuangan mikro di Desa Uhak. Masyarakat melakukan
kegiatan pinjam uang kepada tetangga atau ke tokoh-tokoh masyarakat setempat
tanpa bunga. Pembentukan kelompok simpan pinjam bagi kaum perempuan yang
dilakukan oleh PNPM-MP pada awal tahun 2013 juga belum terlaksana dengan baik.
Kegiatan perdagangan di Uhak dilakukan oleh individu-individu dan lembaga.
Barang-barang kebutuhan pokok dari luar daerah, biasanya diperoleh melalui
pedagang-pedagang Bugis-Makasar, belanja langsung ke Atambua, Kupang dan
Kalabahi di NTT. Juga dilakukan melalui Yayasan Ama Kefe yang merupakan lembaga
binaan PT Batutua Tembaga Raya (BTR). Barang-barang hasil produk Desa Uhak
berupa madu, pala hutan, jambu mente, jeruk dan sayur-sayuran juga dijual
melalui individu dan lembaga yang ada.
Di Desa Uhak sudah terdapat kelompok tani
binaan PT BTR sebanyak 30 anggota. Kelompok ini telah dibina untuk menyediaakan
sayur-sayuran ke BTR. Juga melakukan kegiatan lain seperti kegiatan bertanam
padi sawah, tanaman umur panjang dan peternakan ayam potong.
Sumber listrik Desa Uhak berasal dari tenaga diesel (genset desa),
sumbangan dari PT BTR pada tahun 2007. Listrik hanya menyala dari pukul 18.00
hingga pukul 00.00 waktu setempat. Selain itu, beberapa keluarga memiliki
genset pribadi. Digunakan sewaktu-waktu, jika listrik desa mati atau diperlukan
pada siang hari. Saat ini, pasokan BBM listrik desa masih dibantu oleh BTR. Ada
upaya pencarian dan penerapan energi terbarukan yang lebih murah dan ramah
lingkungan, tetapi masih belum dilaksanakan oleh pihak perusahaan.
Desa Lurang menjadi ibukota Kecamatan Wetar Utara, hasil pemekaran
kecamatan Wetar. Jumlah penduduk Lurang pada tahun 2013 adalah 480 jiwa (102
KK). Mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan, disusul dengan penduduk
beragama Katolik. Penduduk Lurang bekerja sebagai petani-nelayan, juga ada yang
berprofesi sebagai karyawan perusahaan BTR-BKP, guru TK, SD, SMP dan usaha
kios. Sebagian besar penduduk Desa Lurang adalah pendatang dari NTT, Saumlaki,
Sulawesi Selatan, Siera, Kisar, dsb. Mereka mulai menetap di Lurang pada tahun
1990-an, saat PT Prima Lirang Mas beroperasi di Lerokis, Lurang. Penduduk asli
hanya sekitar 20 persen dari suku Mauauth, Mapuhu, Magoher, Kaisakur, Kailau,
Manunu dan Mawatis.
Pada awalnya penduduk asli hidup dari berburu binatang liar, mengumpulkan
pala hutan, madu, dan memancing ikan di laut. Sekarang mereka sudah mampu untuk
bekerja sama dalam berbagai program yang dilakukan oleh PT BTR, yaitu bertanam
sayuran, buah-buahan dan tanaman umur panjang (jambu mente, kakao, vanila,
lada).
Tanah-tanah di Desa Lurang belum punya sertifikat. Pemakaian tanah atas
seijin tuan tanah atau pemerintah desa setempat. Tekstur tanah di Lurang
umumnya lempung berpasir. Pengggunaan lahan yang terus-menerus menjadikan tanah
kekurangan nutrisi. Petani Lurang sudah mengenal dan mengaplikasikan penggunaan
pupuk dan pestisida, baik organik maupun kimia.
Bulan-bulan basah di Lurang biasanya terjadi pada bulan Desember hingga
Juni. Sedangkan bulan-bulan kering berlangsung dari Juli hingga November.
Kehidupan perekonomian Desa Lurang lebih baik pada bulan-bulan kering karena
penduduk biasanya panen pala hutan, madu dan jambu mente. Hasil tangkapan ikan
meningkat pada bulan-bulan kering karena gelombang tidak terlalu tinggi.
Sumber energi untuk aktivitas memasak di dapur adalah kayu bakar (90%) dan
minyak tanah (10%). Jenis tungku memasak yang umumnya dipakai adalah tungku
batu alam atau batako. Hanya sebagian orang yang menggunakan minyak tanah untuk
memasak dengan memakai kompor minyak. Kayu api diperoleh dari alam sekitar.
Penduduk mengambil kayu bakar yang sudah kering dari hutan sekitar atau dari
kawasan pantai, memanfaatkan kayu kering yang terdampar di pinggir pantai.
Tidak ada lembaga keuangan mikro di Desa Lurang.
Masyarakat melakukan kegiatan pinjam uang kepada tetangga atau ke tokoh-tokoh
masyarakat setempat tanpa bunga.
Kegiatan perdagangan di Lurang dilakukan oleh
individu-individu dan lembaga. Barang-barang kebutuhan pokok dari luar daerah,
biasanya diperoleh melalui pedagang-pedagang Bugis-Makasar, belanja langsung ke
Atambua, Kupang dan Kalabahi di NTT. Juga dilakukan melalui Yayasan Ina Rifa
yang merupakan lembaga binaan PT Batutua Tembaga Raya (BTR). Barang-barang
hasil produk Desa Lurang berupa madu, pala hutan, jambu mente, jeruk dan
sayur-sayuran juga dijual melalui individu dan lembaga yang ada.
Di Desa Lurang sudah terdapat kelompok
tani binaan PT BTR sebanyak 35 anggota. Kelompok ini telah dibina untuk
menyediakan sayuran dan buah ke BTR. Juga melakukan kegiatan lain seperti
kegiatan bertanam tanaman umur panjang, beternak ayam potong dan ayam petelur.
Sumber listrik Desa Lurang berasal dari tenaga diesel (genset desa),
sumbangan dari PT BTR pada tahun 2007. Listrik hanya menyala dari pukul 18.00
hingga pukul 00.00 waktu setempat. Selain itu, beberapa keluarga memiliki
genset pribadi. Digunakan sewaktu-waktu, jika listrik desa mati atau diperlukan
pada siang hari. Saat ini, pasokan BBM listrik desa masih dibantu oleh BTR. Ada
upaya pencarian dan penerapan energi terbarukan yang lebih murah dan ramah
lingkungan, tetapi masih belum dilaksanakan oleh pihak perusahaan. Hampir tidak
ada lagi lampu petromax, lentera atau lampu pelita.
Desa
Naumatang termasuk dalam Kecamatan Wetar Utara. Akses menuju Naumatang hanya
dapat dilakukan dengan jolor (perahu motor), atau kapal layar motor. Letaknya
berhadapan dengan Laut Banda.
Jumlah
penduduk desa Naumatang sebanyak 225 jiwa dengan uraian 100 laki-laki dan 115
perempuan, 39 KK laki-laki dan 1 KK perempuan. Desa ini adalah desa
transmigrasi dan sebagian besar penduduknya berasal dari Kisar. Jalan-jalan
desa sudah dibuat rabat setapak dan ditanami dengan pagar hidup dari beluntas.
Tata letak rumah mereka sudah teratur.
Tanaman pangan utama di
Naumatang adalah jagung dan ubi kayu. Tanaman umur panjang yang penting adalah
kelapa, pala hutan, pisang dan jambu mente. Jambu mente paling dominan dan
hasilnya biasa dikumpulkan oleh pedagang pengumpul yang ada di desa dengan harga Rp 6.500/kg biji mete (dengan
kulit).
Sayuran juga sudah ditanam
oleh petani walaupun hanya sedikit. Tanaman sayuran yang sudah pernah ditanam
antara lain wortel, bawang merah, tomat, sawi dan kangkung. Lahan di sini juga
potensial untuk dikembangkan persawahan karena memiliki sungai dan juga
memiliki lahan rata yang dapat dijadikan sebagai sawah. Hanya saja, usulan dari
masyarakat belum direspon oleh Pemda setempat.
Ternak dominan adalah
babi dan ayam kampung. Sistem beternak masih dilakukan secara tradisional, babi
dan ayam dilepas untuk mencari makan sendiri. Beberapa penduduk sudah mengikat
babi di bawah pohon jambu mente dan kotoran babi dipendam dalam tanah di
sekitar pohon jambu mente untuk pupuk.
Bulan-bulan basah di Naumatang biasanya terjadi pada bulan Desember hingga
Juni. Sedangkan bulan-bulan kering berlangsung dari Juli hingga November.
Kehidupan perekonomian Desa Naumatang lebih baik pada bulan-bulan kering karena
penduduk biasanya panen pala hutan, madu dan jambu mente. Hasil tangkapan ikan
juga meningkat pada bulan-bulan kering karena gelombang tidak terlalu tinggi.
Sumber energi untuk aktivitas memasak di dapur adalah kayu bakar (95%) dan
minyak tanah (5%). Jenis tungku memasak yang umumnya dipakai adalah tungku batu
alam. Minyak tanah hanya digunakan oleh sedikit keluarga, terutama pada musim
hujan.
Belum ada lembaga keuangan mikro yang bisa menopang perekonomian masyarakat
terutama untuk memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat baik di bidang
pendidikan, pemenuhan kebutuhan pokok maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Masyarakat lebih banyak berusaha sendiri-sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Ada beberapa guru bisa membantu memberikan pinjaman uang ketika
masyarakat mengalami kebutuhan mendesak tanpa dikenakan bunga pinjaman.
Kelompok arisan juga belum ada.
Sumber listrik Desa Naumatang berasal dari tenaga diesel (genset pribadi).
Belum ada listrik desa atau PLN. Sebagian penduduk menggunakan lampu pelita
untuk penerangan di malam hari. Belum ada program pengembangan energi di Desa
Naumatang.
Jumlah penduduk Desa Esulit tahun 2013 sebanyak 46 KK dengan total penduduk
96 jiwa (50 laki-laki, 46 perempuan). Sebagian besar penduduk berasal dari
Kisar dan Jampea-Sulawesi Selatan. Mayoritas warga desa beragama Protestan,
beberapa penduduk asal Jampea beragama Islam. Desa ini memiliki satu SD dan
satu SMP. Tidak ada jalan raya, kecuali jalan setapak (rabat jalan).
Transportasi dari dan ke Desa Esulit hanya dapat dilakukan melalui laut,
menggunakan perahu motor (jolor) milik para nelayan dan pedagang.
Sebagian
besar rumah penduduk beratap seng dan berdinding tembok semen. Beberapa diantaranya telah
memiliki genset dan antena parabola. Terdapat kios yang cukup besar sehingga
harga barang di Esulit termasuk cukup murah dibandingkan dengan desa lain di
Pulau Wetar.
Tanah pemukiman umumnya
berpasir. Ladang petani yang jauh dari pemukiman, terletak di bukit-bukit
dengan tanah berwarna merah kuning. Lahan pertanian di perbukitan ditanami
dengan tanaman umur panjang. Lahan pertanian diolah dengan alat-alat pertanian
yang sederhana seperti cangkul, parang dan besi gali/linggis.
Petani Esulit umumnya hidup
dari bertanam jagung dan ubi kayu untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Sumber
pendapatan, yaitu: jambu mente, kelapa dan pisang. Jambu mente paling dominan
di Esulit. Hasil mente ditampung oleh pedagang pengumpul yang ada di desa
dengan harga 6.500/kg biji mete dengan kulit. Ibu-ibu rumah tangga juga telah
menanam sayuran meskipun hanya untuk dimakan. Sayuran yang sudah ditanam di Esulit
antara lain kangkung, sawi, bayam, paria dan cabai.
Desa Esulit mulai mengalami musim hujan pada
bulan November hingga Mei. Kadang-kadang, hujan masih turun pada bulan Juni-Juli,
saat hampir sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim kemarau. Bulan
Januari (akhir), Februari dan Maret merupakan bulan-bulan dengan curah hujan
tertinggi. Pada bulan-bulan basah, petani menanam jagung, kasbih dan sayuran
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Gelombang laut umumnya tinggi
selama musim barat dan musim timur sehingga menghambat transportasi dari dan
menuju Esulit.
Bulan-bulan kering berkisar dari Juli hingga
November. Pada musim kemarau ini, petani giat memanen hasil jambu mente.
Sebagian petani mendatangkan saudara dari desa lain untuk membantu atau menyewa
orang lain pada saat panen jambu mente. Petani baru mampu menjual hasil
panennya berupa biji gelondongan (beserta kulit). Padahal biji mete kupas jauh
lebih mahal. Petani merasa kesulitan untuk mengupas jambu mente dari kulitnya,
sementara tenaga kerja juga kurang memadai, sebab pada musim ini, keluarga
petani juga sibuk untuk memanen madu dan pala hutan.
Petani memasak dengan mengandalkan kayu bakar (sekitar 95%). Sisanya, 5%
menggunakan minyak tanah. Kayu bakar diperoleh dari alam sekitar. Masyarakat
tidak menebang pohon untuk mengambil kayunya, tetapi memanfaatkan kayu-kayu
kering yang ada di hutan. Masyarakat juga memanfaatkan kayu-kayu kering yang
terdampar di pinggir pantai sebagai kayu bakar. Sebagian besar penduduk
mengumpulkan dan menyimpan kayu bakar di dapur sebelum musim hujan tiba
sehingga pada musim hujan, mereka tetap menggunakan kayu bakar yang kering.
Jenis tungku memasak yang umumnya dipakai adalah tungku batu alam. Tungku
dibuat di atas para-para atau langsung diletakkan di atas tanah.
Tidak ada lembaga keuangan mikro di Desa Esulit.
Untuk memperoleh uang kas, masyarakat melakukan kegiatan pinjam uang kepada
tetangga atau ke tokoh-tokoh masyarakat setempat tanpa bunga. Beberapa petani
meminjam uang kepada pedagang keliling (Makasar) dengan jaminan akan menjual
atau memberikan sejumlah kilogram pala jika musim panen pala hutan tiba.
Praktek-praktek ini, sama seperti sistem ijon di tempat lain, hanya saja sistem
ijon yang ada di sini adalah memberikan jaminan hasil hutan berupa madu atau
pala.
Kegiatan perdagangan di Esulit langsung
dilakukan oleh individu-individu. Barang-barang kebutuhan pokok dari luar
daerah, biasanya diperoleh melalui pedagang-pedagang Bugis-Makasar, belanja
langsung ke Atambua, Kupang dan Kalabahi di NTT.
Sumber listrik Desa Uhak berasal dari tenaga diesel (genset pribadi).
Listrik digunakan hanya pada malam hari. Sebagian masih menggunakan lampu
pelita, lilin atau lampu lantera. Belum ada upaya dari pemerintah untuk
mengadakan listrik yang murah untuk warga desa.
Desa yang dipimpin oleh L.F. Mamaga ini terdiri dari 42 KK dengan jumlah
jiwa sebanyak 82orang, 42 penduduk berjenis kelamin laki-laki dan 40 perempuan.
Seluruh jalan desa sudah dirabat, dibangun oleh program P2DTK sepanjang 700 m
pada tahun 2009. Bantuan lain berasal dari PNPM-MP untuk membangun 4 ruang
kegiatan belajar di SDN Nabar untuk tahun 2011.
Gedung Sekolah Dasar Nabar memiliki 3 orang guru, dipimpin oleh K.S.
Abertus. Setiap guru bertanggung jawab untuk mengajar 2 kelas dalam waktu yang
bersamaan.
Petani Nabar masih menggunakan alat pertanian sederhana: cangkul, parang
dan linggis. Sistem bertani masih tradisional. Lahan disiapkan terlebih dahulu
dengan membakar rumput/sampah dalam kebun. Setelah bersih, baru petani menanam
jagung dan kasbih.
Potensi pertanian yang ada di Nabar, yaitu: jeruk, kelapa, pisang jambu
mente, mangga, nangka, pala hutan. Jeruk paling dominan, hasilnya biasa dikirim
ke Alor, NTT. Potensi lainnya: sukun, pinang, sagu.
Dari hasil diskusi, petani menginginkan untuk lebih terfokus pada pertanian
tanaman sawah, sebab desa ini memiliki lahan yang luas dan sungai yang cukup
untuk mengairi lahan sawah yang ada. Kepala Desa dan masyarakat pernah
mengusulkan pembuatan irigasi kepada Pemda setempat tetapi belum ada tanggapan.
Pada saat musim panen pala hutan, petani tidak memanfaatkan kulit biji pala.
Mereka biasanya membuang kulit pala tersebut di sembarang tempat sehingga
menjadi sampah. Potensi ini sebenarnya dapat dimanfaatkan, dibakar sebagai arang
lalu ditanam di kebun petani. Gambar 1 sampai 4 menunjukkan proses pemisahan
pala dari fuli (bunga), kulit dan penjemuran fuli pala untuk menurunkan kadar
air fuli sebelum dijual kepada pedagang keliling.
Musim penghujan dimulai dari akhir Oktober hingga April, tetapi hujan masih
turun hingga bulan Agustus. Gelombang laut sangat tinggi pada bulan Desember
hingga Maret. Pada bulan-bulan tersebut, transportasi laut menjadi sangat
sulit. Hanya kapal besar yang bisa berlayar di sekitar Wetar, sehingga pasokan
kebutuhan hidup sehari-hari juga menjadi langka.
Sumber energi untuk aktivitas memasak di dapur adalah kayu bakar (95%).
Kadang-kadang penduduk menggunakan kompor minyak tanah (5%), terutama pada
musim hujan, saat kayu api basah. Jenis tungku memasak yang umumnya dipakai
adalah tungku batu alam. Kayu api diperoleh dari alam sekitar. Penduduk
mengambil kayu bakar yang sudah kering dari hutan sekitar atau dari kawasan
pantai, memanfaatkan kayu kering yang terdampar di pinggir pantai.
Lembaga keuangan mikro tidak ada di Desa Nabar. Masyarakat melakukan
kegiatan pinjam uang kepada tetangga atau ke tokoh-tokoh masyarakat setempat
tanpa bunga. Pelayanan kebutuhan sehari-hari dilakukan oleh pedagang kios dan
juga oleh pedagang keliling, suku Bugis-Makassar yang biasa membawa
barang-barang dagangannya dari desa ke desa, termasuk Desa Nabar.
Belum ada kelompok tani binaan PT BTR. Ada kelompok tani dan peternak,
tetapi hanya sekedar untuk menerima bantuan benih dan ternak dari pemerintah
daerah setempat, lalu tidak aktif lagi. Perusahaan BTR juga belum melakukan
kegiatan pertanian secara intesif di Nabar, kecuali kegiatan imunisasi dan
pengobatan umum.
Desa Nabar belum memiliki listrik desa, juga tidak ada penerangan dari PLN.
Beberapa rumah tangga menggunakan listrik sendiri (genset pribadi). Penerangan
di malam hari masih mengandalkan lampu dinding atau lilin. Selain itu, ada
rumah penduduk asal Jampea Sulawesi yang menggunakan solar cell sebagai
penerangan.
Desa Erai yang dipimpin oleh Simon Managa ini terdiri dari 68 KK, dengan
jumlah penduduknya sebanyak 601 jiwa (321 laki-laki dan 280 perempuan). Dari
pengamatan, jalan desa sudah dibuat dalam bentuk rabat/jalan setapak (80%).
Sebagian besar rumah penduduk beratap seng dan dinding dari tembok semen.
Kantor desa dimanfaatkan dengan baik. Setiap pertemuan selalu dilakukan di
kantor desa. Ada juga gedung gereja Protestan yang dipimpin oleh Pdt Ishak
Letlora. Gereja ini juga menjadi salah satu pusat kegiatan masyarakat setempat.
SD Negeri Erai memiliki 4 orang guru, di bawah pimpinan Markus Pookey.
Desa Erai memiliki dua sumber air yang mengalir sepanjang musim. Potensi
air ini sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian selain untuk
kepentingan air minum, masak, dan MCK. Meskipun demikian, sungai mengalir
begitu saja sampai ke laut. Belum ada yang memanfaatkan aliran air ini untuk aktivitas
pertanian.
Potensi lain, ibu-ibu rumah tangga dapat menganyam berbagai alat rumah
tangga dan perabot dari daun lontar. Berbagai alat rumah tangga seperti tikar,
penampih beras, bakul dan tempat sirih pinang dapat dibuat dari daun lontar
yang kering.
Potensi pertanian yang ada di Erai: jeruk, jambu mente dan mangga. Potensi
lainnya: pisang, lontar dan asam. Bantuan yang pernah diperoleh dari Dinas
Pertanian dan Peternakan adalah: benih sawi, kangkung, tomat, kacang tanah,
bawang merah, pupuk urea dan peralatan seperti cangkul, parang dan gembor.
Bantuan bibit dan pupuk dari dinas pertanian dan peternakan tidak dilakukan
karena menurut petani, mereka tidak tahu cara mengaplikasikannya di lahan.
Dari hasil diskusi, petani menginginkan untuk lebih terfokus pada
peternakan, tanaman umur panjang (jeruk, jambu mente, kakao) dan tanaman
sayur-sayuran, tetapi petani memerlukan pendampingan yang cukup teratur untuk
dapat mewujudkan impian mereka.
Ternak dominan adalah babi. Sistem beternak masih dilakukan secara
tradisional, babi dilepas untuk mencari makan sendiri. Bantuan yang pernah
diperoleh dari dinas Pertanian dan Peternakan adalah babi dan kambing.
Bulan-bulan basah di Erai biasanya terjadi pada
bulan Desember hingga Juni. Sedangkan bulan-bulan kering berlangsung dari Juli
hingga November. Kehidupan perekonomian Desa Erai lebih baik pada bulan-bulan
kering karena penduduk biasanya panen pala hutan, madu dan jambu mente. Hasil
tangkapan ikan juga meningkat pada bulan-bulan kering karena gelombang tidak
terlalu tinggi.
Sumber energi untuk aktivitas memasak di dapur adalah kayu bakar (95%) dan
minyak tanah (5%). Jenis tungku memasak yang umumnya dipakai adalah tungku batu
alam. Minyak tanah hanya digunakan oleh sedikit keluarga, terutama pada musim
hujan.
Belum ada lembaga keuangan mikro yang bisa menopang perekonomian masyarakat
terutama untuk memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat baik di bidang
pendidikan, pemenuhan kebutuhan pokok maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Masyarakat lebih banyak berusaha sendiri-sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Ada beberapa guru bisa membantu memberikan pinjaman uang ketika
masyarakat mengalami kebutuhan mendesak tanpa dikenakan bunga pinjaman.
Kelompok arisan juga belum ada.
Sumber listrik Desa Erai berasal dari tenaga diesel (genset pribadi). Belum
ada listrik desa atau PLN. Sebagian penduduk menggunakan lampu pelita untuk
penerangan di malam hari. Belum ada program pengembangan energi di Desa Erai.
Dari kajian terhadap potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang
ada, maka direkomendasikan untuk memperkenalkan program tungku bersih dan
penggunaan arang dalam praktek pertanian di Kecamatan Wetar Utara yang meliputi
enam desa.
Demikian laporan hasil asesmen untuk “Biochar Project Scale Up di Kecamatan
Wetar Utara, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Masukan dari
Bapak-ibu, sangat diharapkan untuk perbaikan kegiatan dan pelaporan di masa mendatang.
Terima kasih.
Lurang, Oktober 2013
Gregorius Nafanu
Comdev BTR
TOR Inisiatif
Pengembangan Pemanfaatan Biochar dalam Bidang Pertanian dan Sumber Energi untuk
Tungku Bersih, oleh UNDP Indonesia dengan Komunitas Masyakat Lokal dan
Pendamping Komunitas.