Kamis, 03 Desember 2009

Mangaan di TTU: Asa atau Petaka Baru?

Bayangan Agustinus Sila, warga Oelami-Bikomi Selatan, TTU untuk menggenggam beberapa lembar rupiah dari penjualan mangan tidak akan pernah menjadi kenyataan. Tidak akan pernah, karena ia kini terbujur kaku, ditangisi oleh anak, isteri, sanak saudara dan barangkali juga setumpuk mangan dalam karung yang menjadi saksi bisu, bagaimana pria pekerja keras ini meregang nyawa pada hari Selasa, 1 Desember 2009 akibat longsoran tanah setinggi lebih kurang 3,5 meter (lihat poskupang, 2/12/09; http://www.pos-kupang.com/read/artikel/39897).

Saudara,

Agustinus Sila bukanlah korban pertama dari ketidakberesan tata kelola mangan di TTU khususnya dan NTT pada umumnya. Sekurang-kurangnya, sudah tercatat 19 nyawa hilang sia-sia akibat timbunan longsoran galian mangan per Oktober 2009. Bisa jadi, akan banyak lagi korban akibat longsoran galian mangan di masa mendatang jika Pemda TTU tidak menganggap ini sebagai suatu persoalan penting dan mendesak.

Bagaimana pun Pemda dan DPRD TTU yang mempunyai kuasa untuk menyusun berbagai peraturan di TTU sehingga wajar saja, jika kritik dan berbagai usulan harus ditujukan kepada lembaga-lembaga ini. Hingga kini, saya tetap melihat bahwa Pemda TTU dan (mungkin juga) DPRDnya yang nota bene adalah wakil rakyat hanya melihat bahwa MANGAN ADALAH POTENSI TERBESAR YANG BISA MEMBUAT TTU SEJAHTERA LAHIR-BATHIN. Tidaklah mengherankan, jika sekarang ini Pemda TTU dengan bangga menjadikan MANGAN sebagai kontributor utama dan perdana bagi PAD TTU sehingga patut dieksploitasi sedemikian agar target PAD pun tercapai. Duh…….

Sahabat,

Mangan adalah ASA sekaligus PETAKA baru bagi TTU. Saya selalu risau jika pulang kampung. Di sana, saya melihat saudara-saudari saya berbondong-bondong sekaligus berlomba-lomba untuk menggali dan mengumpulkan mangan, lalu ditimbang dan dibawa pergi oleh papalele mangan. Entah kemana, mereka pun tidak peduli. Sebagai orang yang hidup dan dibesarkan dari hasil-hasil kebun seperti padi, jagung, pisang, kelapa dan juga ternak sapi, maka saya selalu risau jika melihat kebun-kebun petani yang kini beralih fungsi dari kebun pisang atau kebun singkong menjadi KEBUN MANGAN.

Dalam berbagai kesempatan, ketika bertatap muka dengan para petani di kampung saya yang sebagian masih ada hubungan keluarga, maka saya selalu berusaha meyakinkan mereka, agar tidak perlu menggali lahan mereka sedalam belasan meter demi mendapatkan mangan. Saya selalu bilang, “Bapak dan mama, mangan itu tidak beranak seperti sapi dan juga tidak bisa dibuat bibit seperti padi dan jagung. Jadi, apa yang kita ambil sekarang hanya untuk sekarang. Nanti anak cucu kita yang sengsara karena mereka hanya mendapatkan warisan lahan yang sudah berubah menjadi kubangan dan tidak bisa ditanami lagi. Rumput pun tidak bisa tumbuh lagi, sehingga sapi kita juga mungkin tidak akan ada lagi karena tidak ada rumput”. Singkatnya, orang yang pernah bersekolah bilang, mangan termasuk kekayaan yang tidak dapat diperbaharui alias un-renewable, sedangkan hasil pertanian dan peternakan termasuk kekayaan yang renewable, bisa diwariskan kepada anak dan cucu di masa mendatang.