Kamis, 16 September 2010

Celah Timor: Apakah Itu Mimpi di Siang Bolong

Oleh: P. Gregor Neonbasu SVD, PhD

Penulis adalah Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Prop NTT, Ketua Badan Pengurus Harian YAPENKAR yang menangani UNIKA Widya Mandira Kupang, Direktur Puslit MANSE NSAE Kupang.

Christine Mason, seorang penasehat hukum dari Fakultas Hukum Universitas Bond di wilayah Robina, Gold Coast - Queensland (Brisbane) memberi apresiasi yang sangat manusiawi terhadap melodi nyanyian sunyi di Laut Timor. Dia yang alumni The Australian National University (ANU) Canberra ini siap berjalan bersama anggota koor di Timor Barat untuk secara cerdas mendengar, tidak saja desiran ombak Laut Timor yang semakin mengganas, melainkan terlebih melerai dendang sunyi senyap nasib para penyanyi yang dengan isak-tangis berteriak dari hempasan dan amukan Laut Timor.

Di Mana Jendela Persoalan
Bilakah persoalan sekitar Celah Timor akan berakhir? Ia bagai benang kusut, oleh karena argumentasi politik kita yang tidak terkoordinir secara baik. Koordinasi kita tidak saja sebatas data, melainkan komitmen yang murni dan perhatian jujur bagi penderitaan masyarakat kecil.
Kapankah Gugusan Pulau Pasir kembali ke pemilik aseli? Pertanyaan ini kini dibedah dalam perspektif yang multi-dimensi.

Untuk kita Indonesia, tidak saja dibutuhkan keberanian berpolitik, melainkan secara perkasa meyakinkan lawan bicara untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan dengan itu mereka memiliki respek yang tulus akan hak-hak dasar orang lain untuk hidup secara lebih beradab.

Informasi yang lengkap mengenai di mana dan siapa pemilik sah Gugusan Pulau Pasir dan seperti apakah persoalan Laut Timor dan celah Timor, anda bisa menemukan informasi lengkap pada terbitan-terbitan yang disebut dalam tulisan-tulisan sebelumnya. Dua terbitan dalam bahasa Indonesia: Skandal Laut Timor (STL 2008) dan Perairan Sengketa, Batas Tapal Batas dan Hak Milik Laut Timor (2005).

Buku yang kedua merupakan terjemahan dari Troubled Waters, Bonders, boundaries and possession in the Timor Sea karya Ruth Balint dari University of Sydney. Karya yang sangat menyentuh persoalan laut Timor ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Prof. M. A. Noach dan Dr Y. L. Henuk. Berbagai rahasia dari nyanyian sunyi yang didendang selama ini, akarnya dapat ditemukan dalam karya-karya ini. Dua karya akademik ini mengambil saripati dari beberapa penulis luar negeri mengenai harta karun di laur Timor.

Mari kita berlangkah ke depan untuk melihat kandungan Gugusan Pulau Pasir, yang ternyata milik Indonesia. Secara tradisional para nelayan Indonesia telah menempati pulau karang ini semenjak abad-abad awal temuan kawasan timur Indonesia ke arah selatan dan tenggara. Dan inilah ladang laut bagipara nelayan tradisional Nusantara.

Gugusan Pulau Pasir disebut Ashmore Reef – Karang Ashmore – sesuai nama penemu pulau itu Kapten Samuel Ashmore dari Divisi Hibernia (Inggeris) pada tahun 1811, yang pada tahun 1938 dimasukkan dalam wilayah hukum administrasi Australia Utara (Northern Territory, NT), dan selanjutnya tahun 1978 NT diberi kuasa penuh untuk memiliki kawasan tersebut. Kemudian dibentuk Territory External bagi gugusan pulau-pulau itu menjadi Territory Ashmore dan Territory Cartier Island yang langsung dikontrol oleh Pemerintahan Federal Australia (Campbell and Wilson 1993:119, Balint 2005).

Seawalnya sesuai catatan yang diabadikan Crawford (1969) dan Stacey (1999), pulau-pulau karang itu belum merupakan milik Australia. Baru mulai 1 Januari 1901 ketika Australia membentuk Negara Federal maka secara faktual semua pula karang yang terpencar di Laut Timor menjadi milik Australia.

Prof Mia Noach mengutip Marston (1987), ketika mengatakan bahwa peran Inggeris mulai nampak di pulau-pulau karang ini saat ia mulai merasa tertantang oleh Perancis di Vietnam Selatan, terhadap Spratly atau Storm Island di Laut Cina Selatan, dan Jepang yang ingin memperluas wilayahnya ke arah yang sama. Peristiwa ini mendorong Inggeris untuk segera mendata semua hasil koleksi pulau-pulaunya di seluruh dunia termasuk Gugusan Pulau Pasir yang dimasukkan ke dalam Persemakmuran Inggeris.

Seperti Belanda yang menjajah Indonesia, Inggeris yang menjajah Australia dan New Zealand tak pernah peduli dengan penduduk Aseli Aborigin (Australia) dan Maori (Selandia Baru). Inggeris dan Australia tidak pernah perduli akan Orang Indonesia yang sudah ratusan tahun menetap di Gugusan Pulau Pasir dan mencari nafkah di sana (bdk tulisan kami sebelumnya “Gugusan Pulau Pasir: Riwayatmu Doeloe” (2/9).

Memang sedari doeloe kala semenjak abad akhir abad 13, lalu abad 14-15 sampai tahun 1972 dan 1974 kawasan itu ditempati nelayan tradisional Indonesia. Baru kemudian nelayan Indonesia (Rote) mulai diterjang keluar dari Laut Timor dan dicap penangkap ikan liar (illegal fishing) hanya karena Agreed Seabed Boundary yang telah ditanda-tangani Australia dan Indonesia pada tahun 1972 dan tahun 1974.

Banyak nelayan yang sudah gugur sebagai pahlawan di Laut Timor oleh karena mereka ditangkap, diadili dan bahkan dibunuh. Yang lain tewas oleh karena dilarang menggunakan alat penangkap ikan modern dan mereka hanya mengandalkan alat penangkap ikan tradisional. Tidak ada orang yang rela memperhatikan nasib para nelayan tradisional, kecuali membiarkan penjajahan nilai-nilai kemanusiaan terus berlangsung hanya karena mentaati sebuah perjanjian – yang penuh rekayasa politis – dan jelas-jelas salah.

Akankah suatu waktu yang baik bakal terbit di ufuk kehidupan, setelah sebuah sejarah dibengkokkan untuk memenuhi rasa haus politik untuk merampas hak orang lain yang tidak berdaya? Kita tunggu sejarah baru, namanya sejarah kemanusiaan!

Timor Gap (Celah Timor)
Perjanjian Celah Timor yang dibuat secara bilateral antara Indonesia dan Australia serta ditanda tangani 11 Desember 1989 itu merupakan sebuah kesepakatan mengenai potensi minyak dan gas di Laut Timor. Wilayah minyak itu disebut Timor Gap yang dibagi atas tiga Zona yang dinamakan Zona A (tengah), Zona B dekat pantai utara Australia, dan Zona C dekat pantai selatan Pulau Timor.

Menurut beberapa pakar, antara lain Prof Herman Johannes (alm.) yang mantan Rektor UGM, pembagian zona-zona itu tidak arif, jauh dari realitas dan kondisi di laut Timor berkenaan dengan aturan, baik internasional, regional, nasional dan lokal. Pembagian tersebut justeru lebih menguntungkan Australia, dan itu semata karena kelalaian politik dari pihak Indonesia, atau tersebab oleh karena Indonesia meremehkan potensi laut. Padahal berkali-kali Indonesia selalu mengumandangkan ambisinya untuk mengarahkan dinamika pembangunan ke arah laut dengan kata-kata pilihan “negara kepulauan”.

Indonesia kebobolan dengan Agreed Seabed Boundary (1972) di mana garis batas mestinya mengikuti Median Line (garis tengah) dan bukan mengikuti batas yang dihitung mulai dari Gugusan Pulau Pasir (GPP) dan selatan Pulau Rote. Mengapa harus digunakan garis tengah, oleh karena menurut Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) bagi dua Negara yang terletak di atas pelana satu kontinental maka garis tengah itulah yang harus digunakan.

Kecerdikan Australia untuk mengatalan bahwa Laut Timor dan Australia tidak terlatak di atas sebuah kontinental oleh karena dipisahkan oleh Palung Timor. Sikap Australia menyalahi fakta-fakta geologis, geomorfologis di Laut Timor serta prinsip-prinsip Konvensi Hukum Laut PBB (The United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) yang terakhir tahun 1982.

Antara lain data geologi justeru menggarisbawahi Pulau Timor dan benua Australia berada dalam satu landas kontinen yang disebut landas Kontinen Australia, yang tidak saja meliputi Pulau Timor melainkan seluruh kawasan Papua dan sekitarnya. Nampaknya ada perbedaan perspektif yang sangat tajam antara pihak Indonesia dan Australia dalam soal ini. Australia tetap pada posisi bahwa Palung Timor inilah yang memisahkan Pulau Timor dan Benua Australia sehingga keduanya berada pada lempeng (kontinen) berbeda. Bahkan Palung Timor dilihat sebagai sebuah parit yang seakan memisahkan Pulau Timor pada lempeng yang satu dan benua Australia pada lempeng yang lainnya.

Pasal 6.1 Konvensi Jenewa 1958 mengenai Landas Kontinen berbunyi: Penentuan batas-batas internasional, wilayah dari dua atau lebih negara yang berdekatan berada di Landas Kontinen yang sama, pesisirnya berhadapan satu sama lain, maka batas-batas pada Landas Kontinen yang menjadi bagian dari Negara-negara itu ditentukan melalui persetujuan antara mereka.

Jika tidak ada persetujuan maka kecuali kalau batas lain bisa dijustifikasi atau keadaan-keadaan tertentu, garis perbatasan adalah garis median, setiap titik pada garis itu sama jauhnya dari titik terdekat pada garis dasar dari mana lebar laut wilayah dari setiap Negara diukur. (SLT 2008: 29-33).

Karena itu sudah seharusnya perjanjian RI-Australia yang dibuat pada tahun 1972 itu dikaji ulang. Sekali lagi, identitas geologis Palung Timor (Timor Through) sebagai garis pemisah kontinen Timor dan kontinen Australia tidak dapat dibuktikan secara tekhnis, yang menurut mantan Menlu RI Dr Mochtar Kusumaatmadja, Australia tidak jujur mengatakan hal yang sebenarnya (STL: 41).

Perlu Perjanjian Trilateral dan Koordinasi
Secara hukum, ketika diterbitkannya TAP MPR V/MPR 1999 yang isinya menerima hasil jajak Pendapat di Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999, sekaligus mencabut TAP MPR VI/MPR/1978 tentang Integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian berdasarkan Resolusi Dewan kemanan PBB No 1272 tanggal 25 Oktober 1999, maka Timor Timur berada di bawah administrasi PBB (United Nations Transitional Administration on East Timor – UNTAET). Oleh karena itu secara iuridis kedaulatan dan kewenangan Republik Indonesia atas Timor Timur dianggap telah berakhir.

Semenjak saat itu, hilanglah segala-gala termasuk harapan untuk melobi secara bilateral terhadap kekayaan di Laut Timor. Ternyata masih ada celah, dan masih terbuka lorong sangat luas bagi Indonesia. Posisi Laut Timor berdasarkan kajian kontinental akan harus dimajukan lagi dalam meja perundingan, dan kali ini tidak saja antar dua Negara, melainkan tiga Negara: Indonesia, Timor Leste dan Australia.

Bagai pokok sebuah pohon yang memiliki ranting, atau sebuah sumber air yang memberi air ke parit-parit yang meneruskan aliran air tersebut, maka potensi minyak yang berada di Laut Timor juga memiliki jejaringnya yang sangat istimewa: yang satu ke Masin Lulik (Belu Selatan) dan Niola (TTU) dan yang lainnya ke Laclubar dan Ailiambata di Viqueque (Timor Leste). Ada beberapa palungan di sekitar Timor Barat yang sedang dieksplorasi. Kita tunggu saja, waktu akan terpenuhi, dan sumber minyak itu akan kembali mengalir ke kawasan penduduk yang secara alamiah adalah pemiliknya.

Jika tidak sampai ada kesepakatan, dalam arti tidak ada titik temu untuk merevisi kembali perjanjian-perjanjian tahun 1972, 1974, 1999, maka secara hukum Indonesia yang dirugikan itu dapat mengambil inisiatif untuk memprakarsai agar diadakannya pertemuan trilateral. Pertemuan ini dapat diadakan dibawah pengawasan PBB untuk mencari kebenaran.

Sesuai sumber yang dipublikasi selama ini – baik luar maupun dalam negeri – maka yang berhak mengolah kandungan Laut Timor adalah Indonesia dan Timor Leste. Itu pun kalau dua hal berikut disepakati: (1) posisi Gugusan Pulau Pasir, itu harus menjadi milik Indonesia, dan (2) keberadaan laut Timor dan Australia hanya pada satu lempeng.

Pertama, usaha untuk mengklaim kepemilikan Gugusan Pulau Pasir hanya bisa berangkat dari pembuktian sejarah, kebiasaan leluhur nenek moyang, dan mencari dokumentasi Belanda (Indonesia) dan Inggeris (Australia dan New Zealand). Beberapa penulis dan peneliti Australia sendiri sudah dengan jujur dan teruka membuktikannya bahwa pulau itu sudah didiami oleh para nelayan dari Nusantara, yang kemudian diikuti dengan bukti-bukti ekologi di kawasan itu.

Kedua, argumentasi Australia terpusat pada analisis mengenai identifikasi yang keliru mengenai keberadaan Palung Timor yang bukan sebuah parit raksasa yang memisahkan lempeng Laut Timor dan lempeng Benua Australia secara terpisah. Palung Timor merupakan sebuah belahan biasa – bagai kubangan – yang berada di atas lempengan besar, yang itulah kontinen Australia yang di atasnya terletak Pulau Timor dan Benua Australia.

Dari kecenderungan aliran minyak yang ada di atas daratan, dan berdasarkan bukti-bukti di Timor Barat (Masin Lulik, Niola, Kolbano) dan Timor Timur (Laclubar, Ailiambata) maka hampir pasti bahwa Australia tidak mempunyai kepentingan dalam proses ekspolitasi potensi minyak di Celah Timor. Tergantung sekarang pembuktian ilmiah dari proses penelitian-penelitian geologik yang dapat dipertanggungjawabkan.

Mestinya sementara menjadi ajang diskusi dan perdebatan seperti ini, maka sangat bagus apabila pelbagai kegiatan di sekitar Laut Timor dihentikan sementara, sampai tercapainya bukti-bukti yang dapat diterima oleh pelbagai pihak secara luas. Para peneliti yang terlibat di dalam proses pembuktian itu juga harus memiliki komitmen untuk mencintai ilmu dan setia menjunjung tinggi kebenaran.

Mengabdi Kebenaran

Dua tokoh terkemuka yang sangat kesal dengan berbagai pertemuan bilateral mengenai Laut Timor adalah Prof Herman Johannes dan mantan Menlu RI Dr Mochtar Kusumaatmadja. Tentu ada jutaan protes mengenai kebenaran yang diutak-atik bertepatan dengan mengidentifikasi kepemilikan harta karun di Celah Timor.

George J. Aditjondro, yang tidak saja berkecimpung di bidang politik, melainkan pemerhati masyarakat kecil pernah menulis dengan sikap kritis mengenai Laut Timor ketika ia menulis Tangan-Tangan Berlumuran Minyak. Ia berhasil membagi sejarah eksplorasi minyak di Laut Timor (darat dan laut sekaligus) dengan membuka tabir harta karun yang tidak tertandingi di peringkat dunia.

Pertama, sekitar tahun 1861 Alfred Russel Wallace bertemu seorang insinyur pertambangan berkebangsaan Inggeris yang melakukan eksplorasi di Timor Portugis. Selain itu Dr Sellhorst yang menulis tentang laporan ekspedisi geologi di Pulau Timor, yang kemudian disambung dengan W.A. Duff yang memimpin pengeboran minyak di Laclubar dan Viqueque di Timor Leste. Tahapan awal ini beakhir pada masa sebelum Perang Dunia II, di mana terjadi silat politik dengan mengatas-namai potensi minyak dan gas bumi (akan dilanjutlan dalam tulisan-tulisan mendatang pada media ini).

Kedua, masa setelah Perang Dunia II sampai Perjanjian Celah Timor yang masih meninggalkan persoalan hingga hari ini. Catatan menarik yang diberi Aditjondro adalah hubungan negosiasi minyak dan gas bumi dengan kepentingan politik di peringkat nasional. Secara sangat cerdik, Australia menghadang itikad politis Jepang yang sesungguhnya merasa tertarik di kawasan Timor, di mana kebijakan Negara Matahari Terbit itu atas Pasifik Barat dimasukan ke dalam Tai Nan’yo Hosaku Kenkyu Iinkai (Komite Studi Kebijakan untuk daerah Laut Selatan) semenjak tahun 1935.

Komentar yang dapat dipetik dari berbagai catatan mengenai Celah Timor, betapa Palung Timor menyimpan banyak potensi minyak dan gas bumi. Jarak waktu antara PD I dan PD II, dan terlebih setelah PD II, banyak perusahaan minyak dari berbagai Negara yang berebutan mengadu nasib untuk mencari minyak dan gas bumi di kawasan tersebut.

Sekarang, pertanyaan masih tertinggal di benak kita: masih mungkinkah kita meng-klaim kembali Gugusan Pulau Pasir dan merevisi kembali Perjanjian Celah Timor dengan mendobrak kapling ladang minyak di Celah Timor atas Zona A, B dan C? Memang usaha tersebut bukan suatu mimpi di siang bolong, jika kita memahami struktur persoalan Celah Timor semenjak awal.

Memang, tentang Celah Timor, itu bukanya mimpi hampa, tapi usaha yang cukup beralasan. Persoalan kita adalah membangun komitmen untuk menyamakan persepsi.

Catatan: Opini ini diambil dari Harian Timor Express, yang dimuat pada Hari Selasa, 7 September 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar