Kamis, 16 September 2010

GUGUSAN PULAU PASIR: RIWAYATMU DOELOE?

Oleh: P. Gregor Neonbasu, SVD, PhD

Penulis adalah Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Prop NTT, Ketua Badan Pengurus Harian YAPENKAR yang menangani UNIKA Widya Mandira Kupang, Direktur Puslit MANSE NSAE Kupang.

TAK mudah mengklaim kembali kepemilikan Gugusan Pulau Pasir yang tidak saja sedemikian dekat dengan Nusa Tenggara Timur, dan tidak saja pulau itu berada sedemikian rapat pada titik selatan Pulau Rote, melainkan doeleo kala ia adalah milik Indonesia. Seorang teman pada Dewan Riset Daerah (DRD Prop NTT) dalam salah satu seminar di Aula Seroja BP4D Jln. Fetor Foenay-Kolhua (31/8) bertutur, katong terbang dari Darwin ke Gugusan pulau Pasir bisa 1 jam lebeh, dan hanya 30 menit lebeh katong terbang dari Kupang ke Pulau Pasir.

Lalu, mengapa para politisi sedemikian tega melepaskan Pulau tersebut pergi bersama leluhur yang terkubur di sana? Sayang di balik sayang! Harta dan Manusia Telah Pergi
Pada tahun 1979, sebuah dokumen terbit dalam Majalah Belanda Elseviers memuat temuan para geolog dunia bahwa masih ada lima daerah yang memiliki potensi minyak yang jumlahnya hampir sebanding dengan potensi minyak bumi di Timur Tengah (negara-negara Arab). Kelima daerah tersebut: Mexico, Venezuela, Argentina, Madagaskar dan Pulau Timor (Timor Barat dan Timor Leste), bdk Skandal Laut Timor 2008: 16).

Menyambung tulisanku sebelumnya “Laut Timor: Semakin Mengganas” dalam harian ini 30/8, berikut cuplikan dari terbitan monumental tersebut disertai saripati dari beberapa sumber.
Telah disebut bahwa banyak orang Timor – Rote dan Sabu - direkrut menjadi penyelam mutiara untuk kepentingan elit Eropa. Misalnya Lede Rohi seorang suku Sabu yang direkrut Kapten Robin dari Gugusan Pulau Pasir menjadi penyelam yang cerdas di kawasan Broome, Australia Barat pada tahun 1917.

Tidak saja orang Timor yang berkarya bagi dan demi kepentingan Australia dan keharuman nama Eropa, melainkan perahu dan kapal yang membawa pioneer Eropa selalu melewati Gugusan Pulau Pasir. Di situ para musafir mengambil nafas sejenak, sekedar mengencangkan ikat pinggang sejauh perlu, yang tidak saja mengisi air dan memenuhi perbekalan secukupnya, melainkan menjalin relasi dengan ekologi dan ekosistem untuk meneruskan perjalanan melanglang kawasan sekitar itu.

Sering ada konflik antar penduduk aseli Australia (Aborigin) dengan pihak luar, baik penduduk dari Gugusan Pulau Pasir dan para pelancong dari Eropa serta para pekerja dari Pulau Timor. Ada sebuah tragedy pada abad XIX di Pulau Babar (ketika itu masuk kawasan Kerajaan Wehali-Wewiku di Belu Selatan) yakni kapal pemerintah Lady Nelson yang dibakar dan para penumpang dibunuh, kecuali seorang anak kecil (tulis Prof Fox dalam At the Union of Sun and Moon).

Ahli peziarah James Cook yang bertandang ke Australia, dalam perjalanan pulang ke Inggeris (September 1770) dijamu oleh Raja Sabu, Ama Doko Lami Jara. James Cook tidak saja di Sabu melainkan menggunakan waktu pergi ke Gugusan Pulau Pasir dan pulau-pulau lainnya bersama penduduk setempat. Pertemuan itu sedemkian akrab, terjadi saling tukar menukar informasi tentang kehidupan, terlebih strategi menggarap ladang laut dengan cara cerdas (baca Fox, 2008 “Sun, Moon and the Tides: the Cosmological Foundation of Ideas of Order and Perfection among the Rotinese of Eastern Indonesia” Beyond the Horizon: Essays on Myth, History, Travel and Society of Jukka Siikala).

Kepemilikan Gugusan Pulau Pasir dapat disambung dengan kisah pada tulisan sebelumnya, di mana lebih dari 450-an tahun, bahkan semenjak abad ke 13 kawasan itu sudah menjadi ladang garapan para nelayan tradisional Indonesia yang berbasis dari Pulau Rote, yang hanya 160-170an km jaraknya.

Tidak saja pergaulan yang sangat luas antara para penghuni Gugusan Pulau Pasir dan pulau sekitar, melainkan kisah ini harus dilengkapi dengan strategi perang ketika itu. Pulau Timor, khususnya Timor Barat yang secara geografis sangat strategis dari Timor Leste (dulunya Timor Portugis), Australia menjadikan kawasan Timor Barat sebagai “buffer zone” yakni kawasan strategis untuk menahan lajunya pasukan Jepang yang semakin beringas memasuki Australia bagian utara.

Sebuah catatan penting untuk buffer zone ini, Jepang sudah manargetkan wilayah Timor Barat sebagai lokasi teramat penting untuk diduduki, sehingga wilayah ini juga menjadi jembatan emas – semacam markas - untuk menduduki Australia Utara dan seterusnya ke selatan, timur dan barat. Kisah menyedihkan orang-orang desa di Timor Barat, Rote dan Sabu, di mana masyarakat kecil menjadi sasaran pembunuhan, rumah mereka dibakar, terjadi perampokan dan berbagai kemelaratan terjadi secara semrawut dan tidak terkendali demi kehormatan Orang Australia dan merembesnya pengaruh koloni Jepang (Wray 1990).

Christopher C.H. Wray dalam karyanya Timor 1942, Australian Commandos at War with the Japanese (1990) melukis dengan sangat ngeri penderitaan Orang Timor Barat, yang tidak saja mengorbankan harta – minyak, teripang, ikan hiu, mutiara dan berbagai kekayaan laut – melainkan merelakan diri menjadi benteng kemanusiaan untuk menangkis serangan brutal Jepang yang ingin menguasai Australia. Wray menggunakan istilah human shield (perisai manusia), di mana Orang Timor Barat rela berkorban untuk menjaga keutuhan Australia, yang diincar-incar dengan loba oleh Jepang untuk membombardir negereri Kanguru tersebut.


Zona Ekonomi Eksklusif
Pada tulisan sebelumnya telah disinggung kisah perjalanan leluhur Timor-Rote-Sabu (TIROSA) dari Pepela (Rote Timor) ke Pulau Timor, yang kiranya menjadi bukti antropologis serentak historis mengenai siapakah si empunya Gugusan Pulau Pasir. Itu terjadi sekitar abad-abad awal penemuan kawasan timur, tidak saja kerajaan-kerajaan awal di kawasan Nusantara, melainkan awal penghuni dunia di ujung sebelah timur nun jauh bersamaan dengan berkembangnya pengaruh kerajaan Kublai Khan dan kolega-kolega di Tiongkok kuno.

Sebuah peta nama serentak sebagai cermin untuk menarik sebuah garis kepemilikan dengan berpedoman pada kisah-kisah seperti ini bisa saja mungkin memberi kesimpulan yang memuaskan. Walau strategi menjahit sejarah seperti ini, yakni mengandalkan kumpulan tradisi lisan dengan membandingkannya pada dokumentasi tertulis (terbanyak Belanda dan Portugis), ini membutuhkan karya intelek: cerdik mendengar kisah dan cermat menjahit kisah tradisi lisan daslam bentuk tulisan yang menarik.

Namun yang pasti, sesuai kesaksian Prof Fox mengenai sejumlah peralatan yang ditinggalkan di Gugusan Pulau Pasir, hampir pasti wilayah itu pada masa silam dimiliki oleh Orang Indonesia. Meski kisah sedih menimpa orang Indonesia ketika kelalaian politis terjadi, Australia secara sah mengklaim pulau itu sebagai milikya.

Dan semenjak periode 1974-2007, terdapat kurang lebih 3.000-an perahu nelayan Indonesia yang ditangkap oleh aparat keamanan Australia. Perahu-perahu tersebut dari hampir seluruh kawasan Indonesia: Sulawesi Selatan, Rote, Timor, Sikka, Flores Timur, Sulawesi Tenggara, Riau, Alor, Buton, Irian dan Madura.

Berikut, sebuah kisah seorang nelayan Rote yang tertangkap di Australia Utara, dekat perairan Darwin:
“Anda ditangkap dan ditahan di sini (Darwin) karena melewati batas Negara kami (Australia)”, kata aparat keamanan Australia tegas. “Pak, maaf, saya tidak langgar batas Pak!” Jawab si nelayan itu singkat. “Lalu, mengapa anda bisa sampai di sini?”, tanya aparat Australia lagi.

“Yah, saya cari ikan”, jawab si nelayan singkat sambil terheran-heran atas pertanyaan aparat keamana itu. “Segera jawab, mengapa anda sampai di tempat ini, kalau bukan melanggar batas?” Gertak aparat Australia yang mulai panas dan menggertak gigi. “Maaf Pak, saya ini tidak tahu batas”, jawabnya setengah menangis.

“OK, tapi, katakana yang benar, mengapa anda melanggar batas sampai di sini?” desak si bule berkali-kali dengan sentakan kaki. Orang Rote itu menjawab, “saya ke sini bukan karena langgar batas Pak, saya tidak tahu batas Pak, saya ke sini untuk kejar saya punya ikan Pak”. Ikan saya lari ke sini, maka saya kejar sampai di sini Pak”!

Aparat Australia terbengong atas jawaban nelayan buta huruf dari Rote yang sangat cerdas dan masuk akal. Kisah tersebut kemudian dilanjutkan, ketika nelayan Rote meminta izin untuk terus mengikuti ikan yang dikejarnya, yang ternyata berawal dari pusaran Pukuafu, ternyata ikan itu baru berhenti di sekitar pantai Australia barat.

MMmmmm pung jauh lai! Awiiiii, Ikan Rote ini lari pung makamiung dari Pukuafu tembus Darwin, lewat Kanguru dong pung kebon anggur! Memang, wilayah ikan itu tiada batas, mereka tidak terikat oleh tempat, bisa ke mana-mana tanpa kendali!

Ditetapkannya Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) termasuk juga kerjasama dalam bidang perikanan ternyata menguntungkan Australia. Perjanjian-perjanjian yang dibuat Indonesia dan Australia sekitar tahun 1970-an justeru memberi peluang untuk Australia untuk menguasai sebagian besar dasar Laut Timor, sekitar 85 % (bdk Skandal Laut Timor: 18). Pandangan terhadap Laut Timor jangan terpusat pada perbatasan di garis atas, melainkan dasar laut dan terlebih beberapa palung yang memiliki potensi minyak di dasar lautan yang menghubungkan beberapa sumur minyak, di mana garis tengahnya sejajar dengan yang ada di Masin Lulik (Belu Selatan) dan Ailiambata (Viqueque, Timor Leste).

Prof Herman Johannes (alm), mantan Rektor Universitas Gadjah Mada telah lama memprotes, walau suaranya suram ditelan nyanyian sunyi ‘ombak putih-putih ombak datang dari laut Timor. Kawasan berpotensi minyak diberi nama A, B dan C, di mana Indonesia diberi C yang ternyata berada di kedalaman laut 1500 meter. Zona A dan B berada pada kedalaman 200 meter yang digarap bersama oleh Australia dan Indonesia. Yang lucu adalah Zona A dan B harus menjadi olahan bersama Indonesia dan Timor Leste, dan bukan antara Australia dan Timor Leste.

Dalam pembagian hasil sebelumnya, garapan bersama Zona A dan B, ditetapkan Indonesia mendapat 16 % dan Australia 84 %, yang ditentang oleh Prof Herman Johannes. Ketika Timor Leste sudah merdeka, pembagian justeru lain, di mana Australia mendapat 10 % dan Timor Leste mendapat 90 %. Kemurahan hati Australia, ternyata dibungkus dengan ditemukannya Laminaria dan Corallina (160 km selatan Pulau Timor dan 550 km dari Darwin yang adalah sumber minyak dan gas yang cukup besar.

Sumber ini dikuasai oleh Australia, demikian Woodside News Release dengan memberi catatan kritis bahwa Ladang minyak Laminaria ini mengandung 110-200 juta barel dan Corallina mengandung 20-50 juta barel lebih.

Mestinya anjuran Prof Johannes mengenai pembagian fifty-fifty untuk Indonesia dan Australia tanpa membeda-bedakan Zona A. B dan C adalah masuk akal oleh karena secara geologik, lempeng dalam laut bagian Zona A dan B (bahkan C) langsung berhimpitan dengan Pulau Timor dan samping Pulau Rote. Pada kawasan ketiga Zona ini masyarakat sudah empat ratusan tahun menyambung kehidupan mereka di sini: menangkap teripang, ikan hiu, dan penyu (telur penyu) serta beristirahat setelah digunakan Orang Australia untuk mencari mutiara.

Sesuai sumber tahun 1996 dari Woodside News Letter, maka ada beberapa perusahaan minyak yang masih beroperasi di sana: Woodside Petroleum Ltd (Australia), Brooken Hill Petroleum Pty. Ltd dan Shell Development (Australia) Pty, Ltd. Informasi ini kemudian dipublikasi dalam Northern Territory Offshore Oil and Gas Fields dan Northern Territory Petroleum Projects (1996).

Yang menjadi kekuatan tekhtonik dan secara antropologis dapat digunakan sebagai ujung tombak perjuangan Indonesia adalah beberapa sumber minyak yang dari lempengan dasar laut dapat menjadi nafas dari ladang-ladang minyak tersebut. Antara lain Masin Lulik di Belu Selatan dan Ailiambata di Viqueque (Timor Leste) yang memiliki 29 lokasi rembesan minyak mentah (Kompas 2 Maret 1989).

Siapa Tunggu Siapa
Posisi Laut Timor terlalu jauh dari Jakarta, juga Gugusan Pulau Pasir sangat jauh dari pusat politik Indonesia, sehingga kata-kata politik tidak mampu mengklaim kekayaan Indonesia, yang tidak saja pulau karang, melainkan kandungan minyak mentah dan berbagai hasil laut yang sangat kaya dan menakjubkan.

Pada periode pemerintahan yang lalu Orde Baru, sudah ada berbagai pendekatan, terobosan, kajian, refleksi dan usaha dalam rangka pengembangan Kawasan Timur Indonesia (Katimin) dengan mengencangkan strategi dan jejaring AusAID. Yang diharapkan agar format, pola dan strategi kerja sama yang baik itu dikembangkan, dan disosialisasikan ke tingkat masyarakat bawah agar bisa dilaksanakan.

Ikhwal pencemaran Laut Timor, Tim nasional yang dinahkodai Menteri Perhubungan telah mengajukan klaim ganti rugi, namun ditolak oleh karena tidak didukung oleh data yang kulifide (TIMEX 1/9). Karena itu data-data tidak lengkap yang sekarang dimiliki itu disatukan dengan data-data dari LSM dan dalam hal ini Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) serta dilengkapi dengan berbagai masukan dari Pemda NTT. Mungkin kerja sama seperti ini akan melicinkan lobi kita untuk meminta ganti rugi!

Selaku Ketua Badan yang dibentuk YPTB, kami telah menyusun beberapa program kerja untuk jangka pendek (terdekat), yakni membuat investigasi terhadap data-data tersebut. Tanpa mempertanyakan dari mana asal data-data tersebut, team yang dibentuk akan berusaha untuk mendapatkan informasi lapangan yang dapat dipercayai. Justeru dengan data-data yang dipercaya inilah, klaim akan dapat dilaksanakan.

Karena itu untuk menjawab kesulitan masyarakat yang menderita hempasan minyak mentah, kerja sama berbagai pihak merupakan jalan emas untuk mempersatukan perspepsi mengenai akibat pencemaran yang dialami masyarakat saat ini. Yang pasti bahwa tidak saja masyarakat di daerah pesisir pantai yang mengalami kerugian dari tumpahan minyak di Laut Timor, melainkan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang justeru mengalami kesulitan hidup oleh karena gangguan ekologi yang serius dan kehidupan masyarakat setempat terporak-poranda.

Sebuah seruan kemanusiaan kepada para wakil rakyat untuk tanggap dan proaktif terhadap bahaya yang bakal timbul dari tumpahnya minyak mentah di Laut Timor. Selain mengumpulkan data sebagai bahan investigasi, perlu pendekatan lain untuk melobi pihak Australia untuk tidak mengklaim segala-gala menjati miliknya sendiri dan mengabaikan hak Orang-Orang NTT, terutama nasib para nelayan yang tidak menentu.

Sementara itu perlu ada pendekatan baru untuk menyusun strategi yang sinergis dalam rangka menyusun peta politik baru dalam kerangka mengembalikan harta milik Indonesia. Kepemilikan eksklusif Celah Timor yang berpotensi minyak dan gas bumi menjadi milik Australia tidak dibenarkan. Mestinya diatur secara bersama, dalam arti pembagiannya harus fifty-fifty dengan alasan berikut.

Dari perspektif tektonik, ada petunjuk yang jelas bahwa elemen-elemen tektonik regional Indonesia bagian timur dan Australia Utara, menunjukkan, Pulau Timor dan Australia Utara ada dalam satu kontinen (daratan geologi), yang disebut dengan Kontinen Australia.

Tatanan tektonik regional Indonesia bagian timur dan Australia Utara secara geologis menunjuk bahwa dinamika pergerakan yang saling berkaitan antara lempeng Australia (Australia Plate) dengan system tektonik yang berkembang di Indonesia bagian timur (Fox 1999, Barber at.al. 2003, Hill 2005). Benua Australia dan Pulau Timor berada dalam satu landas Kontinen (Australia).

Karena itu tidak benar bahwa bahwa Pulau Timor dan Australia berada dalam dua landas kontinen berbeda yang dipisahkan oleh Palung Timor sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian batas landas kontinen RI-Australia 1972. Dalam arti, seharusnya batas landas kontinen RI-Australia ditetapkan dengan menggunakan “garis tengah” (median line) berdasarkan pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).

Kajian geologis di atas lebih lanjut menyimpulkan bahwa potongan penampang seismik dari busur Banda (Indonesia Timur) hingga Australia Utara (Craton) saling berkaitan erat satu terhadap yang lain. Dan di sinilah sebagai argumentasi lengkap akan alasan geologis yang menggambarkan (secara factual) system continental Australia. Bahkan menurut antropolog dari ANU Prof Fox, lempengan dasar Australia dan lempengan Pulau Timor saling mendekat sebagai saudara//saudari (sister//brother, feto//mone).

Catatan: Opini ini diambil dari Harian Timor Express Kupang yang dimuat tanggal 2 September 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar